Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kalau ada panitia dan sponsor yang berminat, pada suatu hari Markesot ingin tampil dalam pertandingan melawak melawan Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
"Sama-sama binatang pemakan nasi, apa yang saya takutkan pada cucu K.H. Hasyim Asy'ary," tantang Markesot, ''Bahkan saya berani melahap godhong kates mentah-mentah, berani makan silet, beling, atau kalau perlu gado-gado campur paku..."
"Gus Dur juga berani!" Markenyut memotong, "Wong makan ulama saja dia berani kok!"
"Husss!!!" bentak Markesot, "Jangan nglantur. Gus Dur memang saya jarnin tak berani makan beling, soalnya ndak mungkin ketua Tanfidziyah NU berlaku seperti Jaran Kepang. Gus Dur juga pasti kalah lomba lawak sama saya, karena sebagai tokoh nasional dia tak bisa menuturkan lawakan-lawakan yang ndlodog atau saru. Kalau saya 'kan bebas. Wong saya cuma kepala gerombolan mbambung...!"
Tetapi bagi Markesot, Gus Dur memang adalah kolega atau relasinya. Bukan di bidang politik atau keagamaan. Melainkan dalam sektor perlawakan.
Kalau mereka bertemu, tak ada lain yang terjadi kecuali berlomba melawak. Saling memamerkan kulakon-kulakon terbarunya. Seluruh dunia dan kehidupan ini, bagi Gus Dur dan Markesot tidaklah punya fungsi apa-apa kecuali sekadar sebagai bahan berkelakar. Masalah politik, kekuasaan, diktator, militer, birokrasi, korupsi, ulama, kiai, organisasi sosial, konglomerat,atau apa pun saja hanyalah suku cadang lawakan di antara mereka.
Tak pernah ada ceritanya, tak pernah ada kamusnya, bahwa pertemuan antara Gus Dur dengan Markesot adalah perjumpaan yang serius. Segala-galanya hanya lawakan dan kelakar. Hidup sangat melelahkan, sehingga setiap orang perlu metode untuk melawakkannya. Manusia sangat naif dan dungu, sehingga kita harus pandai-pandai menertawakannya. Sejarah sangat menggelikan, sehingga siapa saja yang mesti terampil meludrukkannya. Peradaban umat manusia sangat merupakan komedi, sehingga tolollah siapa saja yang terlalu "mengambil hati" untuk terlampau memprihatinkannya.
Ketika kuliah di Kairo, Gus Dur suka memlonco pendatangpendatang baru dari tanah air. Partnernya dalam panitia perploncoan biasanya adalah K.H. Mustofa Bisri dari Rembang yang kini terkenal sebagai kiai-penyair.
Pada suatu hari K.H. Syukri Zarkasyi yang ketika itu pasti belum Kiai Haji dan menurut Gus Dur "pekerjaannya di Kairo hanya main band tapi pulang-pulang jadi kiai"—bertamu ke tempat kos Gus Dur dan Gus Mus(tofa). Tentu saja disambut dengan penuh keramahtamahan. Dipersilakan duduk, saling menanyakan keselamatan, di-godog-kan air untuk membuat minuman teh dan seterusnya.
Hanya saja karena namanya saja tempat kos: Jadi kamar, dapur, dan ruang belajar ya jadi satu. Maka Gus Syukri melihat segala yang dilakukan oleh tuan rumahnya. Gus Mus mempersiapkan cangkir dan lepek sambil bertanya kepada Gus Dur,
"Di mana lapnya tadi?"
Gus Dur berjalan ke sisi almari, mengambil "lap" yang ternyata adalah celana dalam alias kancut. Memberikannya kepada
Gus Mus dan diterima dengan wajah dingin, kemudian langsung dipakai untuk ngelap cangkir sambil mengobrol dengan Gus Syukri.
Merah-padamlah wajah calon kiai Gontor ini, sekaligus pucat-pasi. Ketika teh sudah tersuguhkan, mau tak mau ia meminumnya, meskipun perasaan dan lidahnya bercampur-aduk.
Sekian lama kemudian baru mereka bertiga tertawa cekakakan. "Cangkir untuk kiai Rembang yang mungkin masih keturunan Sunan Kudus, harus dilap dengan kain istimewa yang paling bersih, di antara kain-kain yang ada. Dan cawet itu betul-betul gress dari toko, belum pernah dipakai sebagai cawet, sehingga belum bisa disebut cawet," kata Gus Dur.
Tak jelas apakah kemudian Gus Syukri di tempat kosnya menyuguhi Gus Dur dengan tongseng sandal atau gule yang bumbunya diuleg dengan menginjak-injakkan sepatu. Tapi jangan lupa Gus Dur pulalah yang "mengajari" Gus Syukri nonton film dan acara-acara kesenian sehingga beliau mengenal kebudayaan dan menjadi berbudaya.[]
http://foelvoen.blogspot.com/
0 Comments:
Posting Komentar